Home   Vacancies   How We Work   Articles   About Us 日本語 |  English

You are here » Articles » Konsekuensi Kerja

Articles
Konsekuensi Kerja
Author : Andrias Harefa
Posted: 2010-12-28 00:00:00 | Category: Menarik
Share this post :

Konsekuensi Kerja

Dalam banyak kamus bahasa, uang diberi pengertian yang itu-itu juga.
Ia disebut sebagai alat pembayaran yang sah, dibuat dari logam ––
emas, perak, atau lainnya–– atau barang cetakan dan dipergunakan
sebagai ukuran nilai/harga sesuatu, diberi dan diterima dalam jual
beli. Jika kata uang dilacak asal usulnya, maka John Ayto menyebutkan
beberapa kata seperti moneta (Romawi Kuno), monere (Latin), moneie
(Perancis), dan money (Inggris), sebagai cikal bakal atau nenek
moyang istilah uang. Mungkin akan lain halnya jika sejarah uang
ditulis menurut orang Tiongkok Kuno, atau Yahudi dan Arab. Dan ketika
dunia mulai mengenal uang plastik, maka pengertian credit dan debet
card sebagai alat pembayaran yang sah dan diterima di banyak tempat
mesti ikut dimasukkan.

Apakah uang ––terlepas dari berbagai varian bentuknya–– hanya
berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah? Mungkin tidak. Uang juga
berfungsi sebagai simbol dari kemakmuran seseorang. Dengan uang,
banyak hal bisa diperoleh, termasuk kekuasaan dan (maaf) seks.

Hubungan antara uang dengan kekuasaan mungkin tersirat dari perkataan
Deng Xiao Ping, "money talks loudly". Ya, uang bisa berbicara
nyaring. Dalam kancah politik, uang dapat dipergunakan untuk membeli
suara, membeli kedudukan dan pengaruh. Tak penting apakah sebuah
negara menganut kapitalisme ––dengan atau tanpa kepedulian sosial
sekalipun–– ataupun komunisme, uang memainkan peran yang sama
pentingnya. Tanpa uang atau likuiditas dalam jumlah tertentu, sebuah
pemerintahan bisa ambruk diterpa badai krisis seperti yang kita alami
di Indonesia beberapa tahun terakhir.

Hubungan antara uang dengan seks, amat jelas. Seks bisa dibeli dengan
uang atau orang bisa menjual seks untuk mendapatkan uang. Tentu seks
yang demikian haruslah dibedakan dengan (sebab ia bukan) cinta, sama
seperti membeli kasur mewah dan empuk tak menjamin bisa tidur nyenyak.

Dalam hubunganya dengan kemakmuran, jumlah uang yang dimiliki
seseorang, misalnya, dapat menjamin pola hidup seperti apa yang dapat
tetap dijalaninya sekalipun ia kehilangan nafkah utama pada suatu
saat (di-PHK atau pensiun, misalnya). Dengan jumlah tabungan dalam
jumlah tertentu (besarnya relatif), orang tak perlu khawatir bila
harus kehilangan pekerjaan. Apalagi bila ia pandai menginvestasikan
harta kekayaannya itu dengan bijaksana.

Karena `daya guna' uang yang besar itulah maka tak heran jika
kebanyakan orang bekerja untuk mendapatkan uang. Masalahnya, apakah
tujuan aktivitas yang disebut kerja itu hanya untuk memperoleh uang?
Saya kira tidak. Setidaknya karena saya lebih menyetujui pandangan
yang mengatakan bahwa uang adalah salah satu konsekuensi dari
bekerja. Artinya, bila kita bekerja, maka salah satu konsekuensi yang
mengikutinya adalah terbukanya kesempatan untuk mendapatkan uang
sebagai imbalan.

Karena uang adalah salah satu konsekuensi (bukan `salah semua'), maka
uang seharusnya tidak perlu dipandang sebagai tujuan akhir dari
bekerja. Orang (kita) bekerja untuk mendapatkan uang. Ya. Tetapi
bukan Cuma itu. Orang juga bekerja untuk dapat bersosialisasi,
bergaul, dan mendapatkan teman. Orang bekerja juga untuk
mengembangkan identitas diri, untuk menambah pengetahuan,
meningkatkan keterampilan, dan mengabdikan diri. Bekerja dapat
merupakan ekspresi dari keinginan beribadah kepada Tuhan, atau
ungkapan rasa syukur karena dipercaya melaksanakan sebuah amanah yang
agung dan suci.

Pandangan yang mengatakan bahwa satu-satunya alasan orang bekerja
adalah untuk memperoleh uang menunjukkan kurangnya kearifan dalam
memaknai pekerjaan itu sendiri. Ini menunjukkan falsafah hidup yang
tidak lengkap.

Bukankah demikian?

 

Categories

 

© 2010 - 2024 OS-Selnajaya. All Rights Reserved