"The Pursuit of Happyness" Author : Ichsan Posted: 2012-03-02 00:00:00 | Category: Menarik Share this post :
"The Pursuit of Happyness"Sebuah Kisah nyata perjalanan seorang Ayah dan anaknya
dalam menempuh pahit getirnya kehidupan hingga akhirnya hidup berkecukupan
sebagai multimillionaire stockbroker di pasar saham. berkat kesabaran dan
kegigihan hati seseorang Ayah demi kebahagiaan anaknya yang akhirnya menjadi
sumber kekuatan tersendiri diluar batas yang mungkin dapat
dibayangkan.
Film yang
mengisahkan kehidupan sebenarnya dari seorang Christopher Gardner, seorang tuna
wisma dan single parents yang berjuang dalam hidup bersama anaknya hingga
berhasil menjadi jutawan dan CEO sebuah perusahaan stockbroker ternama di
Amerika yaitu Christopher Gardner International Holdings dengan kantor yang kini
tersebar di New York, Chicago, and San Francisco. Dari seorang yang miskin
hingga menjadi jutawan, pastilah sebuah kisah yang sudah pasti akan mengundang
rasa kagum dan menarik untuk kita ketahui. Sebuah moment yang yang mampu
menyentuh emosional terdalam dan bersatu dalam sebuah konteks kehidupan spritual
akan sebuah arti kehidupan itu sendiri.
Film ini
secara tiba-tiba mengingatkan saya akan suatu moment dengan bekas atasan saya
dahulu. Dalam suatu perjalan saya bersama Pak Thamrin (former : Dirut PT
Pembangunan Pluit Jaya) mengatakan kepada saya
“Setiap orang pasti akan melewati satu point dimana dia
akan menuju terus kebagian paling dasar dari hidupnya. Dan melewati satu point
lagi yang akan selalu menuju bagian teratas dari hidupnya. Tapi kita hanya tidak
tahu kapan dan dimana point tersebut berada.. Jadi jeli-jeli San lah dalam
melihat hidup ini… karena hanya akan ada satu point yang anda akan lewati..
jangan pernah pernah menyerah maupun lupa diri saat melewati cek point
anda!”
Kata-kata
tersebut masih saya ingat hingga saat ini. Selama hidup saya, tidak pernah absen
sekalipun saya bertanya dalam hati. Atau sekadar memflasback dan memperhatikan,
did I miss my checkpoint?
Where that moment which gonna change my life
forever? Kebiasaan yang seakan menjadi imsonia bagi saya setiap
kali merenung dan membayangkan seperti apa kehidupan saya di 10 tahun
mendatang?
Mungkin ada
sedikit kemiripan dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh Chris Gardner
dalam film ini. Dimana dalam suatu kesempatan di film tersebut, Chistoper’s Son
yang diperankan oleh anak Will Smith sendiri menceritakan sebuah kisah lucu
:
“There was a man who was drowning, and a boat came, and
the man on the boat said “Do you need help?” and the man said “God will save
me”. Then another boat came and he tried to help him, but he said “God will save
me”, then he drowned and went to Heaven. Then the man told God, “God, why didn’t
you save me?” and God said “I sent you two boats, you
dummy!”
Intinya
adalah Tuhan biasanya mendatangkan bantuan lewat cara-cara yang terkadang kita
sendiri tidak mengetahui bahwa itu adalah bantuan. Karena bentuknya yang tidak
berupa mukzizat secara langsung dan kasat mata. Tapi hanya bisa kita pahami pada
saat kita memandang kebelakang hidup kita suatu saat. Sama halnya dengan Check
point yang bekas atasan saya katakan. Perlu suatu kesadaran diri dan kejelian
dalam melihatnya.
Turning
point dalam hidup seseorang seringkali terjadi di waktu dan tempat yang kita tak
pernah bayangkan. Ada saatnya kita memasuki turning point yang
membawa kehidupan kita kebawah. Sama halnya yang diawali oleh Gardner. Turning point ke
bawah ini berawal saat dia memutuskan untuk menjadi seorang salesman Bone
Density scanner dan menginvestasikan tabungan keluarganya untuk membeli beberapa
alat ini sebagai stock untuk dijual kembali secara exclusive ke medical centre
di San Fransisco. Namun ditengah terpuruknya kondisi ekonomi Amerika saat itu,
membuat Gardner
kesulitan untuk menjual barang tersebut sebagai kompensasi untuk menutup biaya
hidup mereka. Tekanan hidup dirasa semakin berat oleh keluarga Gardner, karena langkah Gardner tersebut ternyata membuat kondisi
keuangan keluarga menjadi tidak stabil dan sulit. Istrinya pun mengalami
kelelahan baik lahir maupun bathin karena harus bekerja double shift untuk
menutupi kebutuhan rumah tangga, sehingga bayangan akan masa depan yang
diharapkan diawal pernikahan seakan menjadi jauh dari jangkauan. Rasa putus asa
dan lelah jiwa membuat dirinya cepat meledak-ledak dan skeptis terhadap
kemampuan suaminya.
Sedangkan
Christopher Gradner, yang lahir pada 9 february di Milwauke tanpa pernah melihat
siapa ayahnya terlahir untuk memiliki mimpi sendiri yang dia rasakan lebih
penting bagi dirinya daripada hanya menjual scanner. Kehidupan keras yang dia
rasakan bersama ibunya telah menempa dirinya hingga memiliki suatu “spiritual
genetic” tersendiri dan mengajarkan dia suatu pelajaran berharga dalam hidup,
yang tetap dia pegang hingga kini. Dia ingin menjadi seorang ayah yang dia tidak
pernah miliki. Dan hal tersebut dia dedikasikan ke anaknya melaui kesabaran yang
tiada batas serta kesatuan emosi dengan anaknya. Dan saat istrinya memutuskan
untuk meninggalkan dia karena tidak tahan lagi akan tekanan hidup yang dimiliki,
semuanya mulai berubah. Chris harus rela kehilangan mobil dan apartmentnya.
Namun dia tetap bersikukuh untuk tetap dapat bersama anaknya, karena dia telah
membuat keputusan dimasa kecilnya, saat dia memiliki anak nanti, dia tidak ingin
anaknya tidak tahu siapa bapaknya seperti dirinya. Walaupun akhirinya, istrinya
tetap meninggalkan mereka.
Sebuah Kisah nyata perjalanan seorang Ayah dan anaknya
dalam menempuh pahit getirnya kehidupan hingga akhirnya hidup berkecukupan
sebagai multimillionaire stockbroker di pasar saham. berkat kesabaran dan
kegigihan hati seseorang Ayah demi kebahagiaan anaknya yang akhirnya menjadi
sumber kekuatan tersendiri diluar batas yang mungkin dapat
dibayangkan.
Film yang
mengisahkan kehidupan sebenarnya dari seorang Christopher Gardner, seorang tuna
wisma dan single parents yang berjuang dalam hidup bersama anaknya hingga
berhasil menjadi jutawan dan CEO sebuah perusahaan stockbroker ternama di
Amerika yaitu Christopher Gardner International Holdings dengan kantor yang kini
tersebar di New York, Chicago, and San Francisco. Dari seorang yang miskin
hingga menjadi jutawan, pastilah sebuah kisah yang sudah pasti akan mengundang
rasa kagum dan menarik untuk kita ketahui. Sebuah moment yang yang mampu
menyentuh emosional terdalam dan bersatu dalam sebuah konteks kehidupan spritual
akan sebuah arti kehidupan itu sendiri.
Film ini
secara tiba-tiba mengingatkan saya akan suatu moment dengan bekas atasan saya
dahulu. Dalam suatu perjalan saya bersama Pak Thamrin (former : Dirut PT
Pembangunan Pluit Jaya) mengatakan kepada saya
“Setiap orang pasti akan melewati satu point dimana dia
akan menuju terus kebagian paling dasar dari hidupnya. Dan melewati satu point
lagi yang akan selalu menuju bagian teratas dari hidupnya. Tapi kita hanya tidak
tahu kapan dan dimana point tersebut berada.. Jadi jeli-jeli San lah dalam
melihat hidup ini… karena hanya akan ada satu point yang anda akan lewati..
jangan pernah pernah menyerah maupun lupa diri saat melewati cek point
anda!”
Kata-kata
tersebut masih saya ingat hingga saat ini. Selama hidup saya, tidak pernah absen
sekalipun saya bertanya dalam hati. Atau sekadar memflasback dan memperhatikan,
did I miss my checkpoint?
Where that moment which gonna change my life
forever? Kebiasaan yang seakan menjadi imsonia bagi saya setiap
kali merenung dan membayangkan seperti apa kehidupan saya di 10 tahun
mendatang?
Mungkin ada
sedikit kemiripan dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh Chris Gardner
dalam film ini. Dimana dalam suatu kesempatan di film tersebut, Chistoper’s Son
yang diperankan oleh anak Will Smith sendiri menceritakan sebuah kisah lucu
:
“There was a man who was drowning, and a boat came, and
the man on the boat said “Do you need help?” and the man said “God will save
me”. Then another boat came and he tried to help him, but he said “God will save
me”, then he drowned and went to Heaven. Then the man told God, “God, why didn’t
you save me?” and God said “I sent you two boats, you
dummy!”
Intinya
adalah Tuhan biasanya mendatangkan bantuan lewat cara-cara yang terkadang kita
sendiri tidak mengetahui bahwa itu adalah bantuan. Karena bentuknya yang tidak
berupa mukzizat secara langsung dan kasat mata. Tapi hanya bisa kita pahami pada
saat kita memandang kebelakang hidup kita suatu saat. Sama halnya dengan Check
point yang bekas atasan saya katakan. Perlu suatu kesadaran diri dan kejelian
dalam melihatnya.
Turning
point dalam hidup seseorang seringkali terjadi di waktu dan tempat yang kita tak
pernah bayangkan. Ada saatnya kita memasuki turning point yang
membawa kehidupan kita kebawah. Sama halnya yang diawali oleh Gardner. Turning point ke
bawah ini berawal saat dia memutuskan untuk menjadi seorang salesman Bone
Density scanner dan menginvestasikan tabungan keluarganya untuk membeli beberapa
alat ini sebagai stock untuk dijual kembali secara exclusive ke medical centre
di San Fransisco. Namun ditengah terpuruknya kondisi ekonomi Amerika saat itu,
membuat Gardner
kesulitan untuk menjual barang tersebut sebagai kompensasi untuk menutup biaya
hidup mereka. Tekanan hidup dirasa semakin berat oleh keluarga Gardner, karena langkah Gardner tersebut ternyata membuat kondisi
keuangan keluarga menjadi tidak stabil dan sulit. Istrinya pun mengalami
kelelahan baik lahir maupun bathin karena harus bekerja double shift untuk
menutupi kebutuhan rumah tangga, sehingga bayangan akan masa depan yang
diharapkan diawal pernikahan seakan menjadi jauh dari jangkauan. Rasa putus asa
dan lelah jiwa membuat dirinya cepat meledak-ledak dan skeptis terhadap
kemampuan suaminya.
Sedangkan
Christopher Gradner, yang lahir pada 9 february di Milwauke tanpa pernah melihat
siapa ayahnya terlahir untuk memiliki mimpi sendiri yang dia rasakan lebih
penting bagi dirinya daripada hanya menjual scanner. Kehidupan keras yang dia
rasakan bersama ibunya telah menempa dirinya hingga memiliki suatu “spiritual
genetic” tersendiri dan mengajarkan dia suatu pelajaran berharga dalam hidup,
yang tetap dia pegang hingga kini. Dia ingin menjadi seorang ayah yang dia tidak
pernah miliki. Dan hal tersebut dia dedikasikan ke anaknya melaui kesabaran yang
tiada batas serta kesatuan emosi dengan anaknya. Dan saat istrinya memutuskan
untuk meninggalkan dia karena tidak tahan lagi akan tekanan hidup yang dimiliki,
semuanya mulai berubah. Chris harus rela kehilangan mobil dan apartmentnya.
Namun dia tetap bersikukuh untuk tetap dapat bersama anaknya, karena dia telah
membuat keputusan dimasa kecilnya, saat dia memiliki anak nanti, dia tidak ingin
anaknya tidak tahu siapa bapaknya seperti dirinya. Walaupun akhirinya, istrinya
tetap meninggalkan mereka.
Saat
melihat hal tersebut, hati saya seakan ikut teriris dan sedikit mengeluarkan air
mata. Terlebih saat adegan dimana Chris dan anaknya harus hidup homeless dan terpaksa tidur di kamar
mandi umum. Dengan air mata berlinang sambil menatap anaknya, satu tangan
diberikan sebagai bantal untuk anaknya agar dapat tetap tidur nyenyak dan satu
tangan lagi dikerahkan untuk menahan pintu yang tengah ingin dibuka oleh
seseorang dari luar. Dia berusaha menghindari pemeriksaan petugas yang sedang
memeriksa setiap malam. Wajah anaknya sudah kelelahan dan bila diusir dia tidak
tahu harus tidur dimana. Sebagai orang tua, saya tahu benar apa rasanya saat
itu. Karena tidak ada yang lebih menakutkan dari pada sebuah perasaan tidak
berdaya untuk dapat memberikan yang terbaik untuk anak anda!
Sebagai
instantnya, turning point kedua dalam hidup Gardner dan pekerjaannya terjadi diparkiran
sebuah gedung. Pada saat dia memandang ke arah salah satu gedung yang berdiri
megah di San Fransisko, dia melihat begitu banyak muka-muka bahagia yang keluar
dari gedung tersebut. Sebuah ekspresi yang rasanya menjadi sesuatu yang mewah
bagi dirinya disaat itu. Dan tiba-tiba dia melihat seseorang tengah keluar dari
sebuah Mobil Ferrari yang diparkir tepat disebelahnya. Decak kagum Gardner bukanlah pada mobil
tersebut, namun bagaimana orang itu mendapatkannya. Dia bertanya “Wow, I gotta ask you two questions. What do you do? And
how do you do that? Sebuah moment yang hingga akhirnya
menjadikan pria ini seorang stockbroker dengan penghasilan USD 80.000
per bulan.
The Pursuit
of happiness adalah salah satu film yang layak anda tonton. Banyak pelajaran
hidup yang dapat diambil didalamnya. Menceritakan bagaimana sebuah kerja keras
dan devotion seorang ayah
terhadap anaknya membawa kebahagiaan pada akhirnya. Kita tidak tahu betapa
mewahnya sebuah pertolongan bila kita tidak pernah kesulitan. Dan betapa
indahnya kebahagiaan, bila tidak pernah merasakan penderitaan. Salah satu
pelajaran hidup yang priceless.
Mungkin
yang perlu kita pertanyakan dari kisah tersebut adalah bagaimana kita
mengartikan sebuah kebahagiaan. Bukan hasil pencapaiannya, namun prosesnya.
Karena Seorang milyuner seperti Gardner sekalipun pernah membuat keluarganya
kelaparan. Pernah mengalami derita yang tak terbayangkan. Sangat beda dari
film-film yang selalu berisi anak seorang kaya yang kemudian menjadi lebih kaya
lagi kemudian hidup bahagia. Ini adalah cerita nyata yang juga dialami oleh
ratusan juta orang di muka bumi. Apa yang dapat kita pelajari dari Chris Gardner
dalam meraih kesuksesannya? Mempertahankan keluarganya? Apakah takdir yang
menemukan kita ataukah kerja keras dan kesabaran yang membawa kita menuju takdir
kita? Satu hal mungkin yang harus kita ingat sebagai pelajaran, kita tidak
pernah tahu apa yang orang lain telah lalui ketika kita membentuk ekspektasi
kita. Saat
melihat hal tersebut, hati saya seakan ikut teriris dan sedikit mengeluarkan air
mata. Terlebih saat adegan dimana Chris dan anaknya harus hidup homeless dan terpaksa tidur di kamar
mandi umum. Dengan air mata berlinang sambil menatap anaknya, satu tangan
diberikan sebagai bantal untuk anaknya agar dapat tetap tidur nyenyak dan satu
tangan lagi dikerahkan untuk menahan pintu yang tengah ingin dibuka oleh
seseorang dari luar. Dia berusaha menghindari pemeriksaan petugas yang sedang
memeriksa setiap malam. Wajah anaknya sudah kelelahan dan bila diusir dia tidak
tahu harus tidur dimana. Sebagai orang tua, saya tahu benar apa rasanya saat
itu. Karena tidak ada yang lebih menakutkan dari pada sebuah perasaan tidak
berdaya untuk dapat memberikan yang terbaik untuk anak anda!
Sebagai
instantnya, turning point kedua dalam hidup Gardner dan pekerjaannya terjadi diparkiran
sebuah gedung. Pada saat dia memandang ke arah salah satu gedung yang berdiri
megah di San Fransisko, dia melihat begitu banyak muka-muka bahagia yang keluar
dari gedung tersebut. Sebuah ekspresi yang rasanya menjadi sesuatu yang mewah
bagi dirinya disaat itu. Dan tiba-tiba dia melihat seseorang tengah keluar dari
sebuah Mobil Ferrari yang diparkir tepat disebelahnya. Decak kagum Gardner bukanlah pada mobil
tersebut, namun bagaimana orang itu mendapatkannya. Dia bertanya “Wow, I gotta ask you two questions. What do you do? And
how do you do that? Sebuah moment yang hingga akhirnya
menjadikan pria ini seorang stockbroker dengan penghasilan USD 80.000
per bulan.
The Pursuit
of happiness adalah salah satu film yang layak anda tonton. Banyak pelajaran
hidup yang dapat diambil didalamnya. Menceritakan bagaimana sebuah kerja keras
dan devotion seorang ayah
terhadap anaknya membawa kebahagiaan pada akhirnya. Kita tidak tahu betapa
mewahnya sebuah pertolongan bila kita tidak pernah kesulitan. Dan betapa
indahnya kebahagiaan, bila tidak pernah merasakan penderitaan. Salah satu
pelajaran hidup yang priceless.
Mungkin
yang perlu kita pertanyakan dari kisah tersebut adalah bagaimana kita
mengartikan sebuah kebahagiaan. Bukan hasil pencapaiannya, namun prosesnya.
Karena Seorang milyuner seperti Gardner sekalipun pernah membuat keluarganya
kelaparan. Pernah mengalami derita yang tak terbayangkan. Sangat beda dari
film-film yang selalu berisi anak seorang kaya yang kemudian menjadi lebih kaya
lagi kemudian hidup bahagia. Ini adalah cerita nyata yang juga dialami oleh
ratusan juta orang di muka bumi. Apa yang dapat kita pelajari dari Chris Gardner
dalam meraih kesuksesannya? Mempertahankan keluarganya? Apakah takdir yang
menemukan kita ataukah kerja keras dan kesabaran yang membawa kita menuju takdir
kita? Satu hal mungkin yang harus kita ingat sebagai pelajaran, kita tidak
pernah tahu apa yang orang lain telah lalui ketika kita membentuk ekspektasi
kita.
http://ichsan.wordpress.com/2007/03/22/the-pursuit-of-happiness/
|