|
Hati Melayani Author : Andrias Harefa Posted: 2011-01-24 00:00:00 | Category: Menarik Share this post :
Hati Melayani"Tanpa kepemimpinan, organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan
dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati
melayani, maka hanya ada potensi untuk bangkitnya sebuah tirani,"
demikian, antara lain, pesan John P. Kotter dan James E. Heskett dalam
Corporate Culture and Performance. Dengan kalimat tersebut Kotter dan
Heskett mengingatkan kita tentang konsep kepemimpinan yang melayani;
sebuah konsep kepemimpinan yang digagas secara mendalam oleh almarhum
Robert K. Greenleaf, mantan eksekutif AT&T dan dosen di berbagai
universitas terkemuka seperti MIT dan Harvard Business School, yang
juga peneliti dan konsultan terkenal di Amerika.
Dalam salah satu karya terbaiknya yang bertajuk Servant Leadership
(1977) ––sebuah karya yang mendapat sambutan hangat dan pujian
tokoh-tokoh sekaliber Scott Peck, Max De Pree, Peter Senge, Warren
Bennis, dan Danah Zohar–– Greenleaf antara lain mengatakan, "… the
great leader is seen as servant first, and that simple fact is the key
to his greatness". Perhatikan bahwa Greenleaf menekankan "servant
first" dan bukan "leader first". Seorang pemimpin biasa menjadi
pemimpin besar dengan cara melihat dirinya pertama-tama dan terutama
sebagai pelayan dan bukan pemimpin. Ia pemimpin juga, tentu. Namun
hatinya terutama dipenuhi oleh hasrat melayani konstituennya, melayani
pengikutnya, melayani publik atau rakyat yang mengangkatnya menjadi
pemimpin. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi
dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan
untuk kepentingan egoistik dan selfish, bukan ambisi pribadi yang
berangkat dari keinginan berkuasa.
Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin
dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar. Tak
seorang pun di antara guru umat manusia itu yang tidak
mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang
mengikutinya dengan tulus hati dan setia, nyaris tanpa pamrih material.
Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian
belajar melayani, melainkan mereka melayani dulu untuk kemudian
diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi
konsekuensi) . Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri
mereka sebagai "pelayan", khususnya pelayan atau hamba Allah Yang Maha
Esa. Dan karena Allah "mengutus" mereka ke dunia, maka demi Allah
mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu, sebagai homo
Khalifatullah atau homo Imago Dei .
Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai
(kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat diaplikasikan dalam
konteks wacana kepemimpinan milenium ketiga. Berbagai ajaran "sesat"
yang membuang agama ke pinggir arena kehidupan terbukti keok di tengah
jalan (komunisme adalah contoh yang nyata). Ada kehausan spiritual yang
nyata dalam masyarakat modern dan pasca modern setelah berbagai
"eksperimentasi" dalam memposisikan manusia—meminjam istilah Yasraf
Amir Piliang—sebagai the idiological man-nya Orde Lama, the mechanistic
man-nya Orde Baru, fragmented man-nya Orde Reformasi, selfish man-nya
Hobbes, man of commodity-nya Marx, maupun man of nature-nya Rousseau,
atau digital man dan man of speed-nya generasi elektronik, yang
ternyata justru menciptakan inhuman realities dan inhuman system.
Kembali ke Ordo Creatio
Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acapkali
dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut
dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian, mereka yang menjadi
pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk
mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi Barat maupun
Timur, pemimpin seringkali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan
yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin
ditempatkan sebagai manusia dari "kasta tertinggi" sementara
konstituennya adalah "kasta terendah" yang harus menerima diperlakukan
sebagai "alat", "organ", atau "obyek". Pandangan ini "berhasil'
melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lalim dan
sewenang-wenang. Namun dewasa ini pandangan yang demikian telah
kehilangan argumentasi untuk dapat dipertahankan. Kesetaraan dalam
hubungan antar manusia telah menjadi kesadaran global yang menolak
penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar
apapun (jenis kelamin, agama, suku, warna kulit, "barat", "timur", dsb).
Jika benar demikian, maka dalam konteks kepemimpinan kita perlu
mengaudit kembali citra diri (self image) para pemimpin kita. Kita
harus menolak siapa saja yang mempersepsi dirinya sebagai "manusia
unggul", "manusia superior", manusia yang merasa "can do no wrong".
Sebaliknya, kita perlu mencari mereka yang menerima hierarki ordo
creatio yang menempatkan ditempat tertinggi hanya Allah semata, yang
menempatkan manusia ditempat kedua sebagai homo Khalifatullah atau homo
Imago Dei, dan yang menempatkan ditempat ketiga alam semesta sebagai
sumberdaya yang harus dikelola secara arif dan bertanggung jawab. Allah
adalah Sang Pencipta dan Sang Pemimpin (dengan P besar). Manusia adalah
ciptaan yang dicipta dengan potensi daya cipta (creative creature) yang
memungkinkan ia menjadi pemimpin (dengan p kecil). Dan alam semesta
diciptakan bagi manusia agar manusia itu menjadi manusiawi dengan
bertakwa kepada Sang Pemimpin semata.
Kesadaran yang tinggi terhadap kesetaraan manusia sebagai sesama
ciptaan menempatkan semua manusia sebagai mahluk yang harus
mempertanggungjawab kan setiap kata dan perbuatannya kepada Sang
Pencipta dan Sang Pemimpin. Dan kesadaran yang demikian hanya mungkin
muncul dari hati nurani (conscience) yang bersih, hati nurani yang
menuntun akal budi, dan baik hati nurani maupun akal budi itulah yang
pada gilirannya menuntun perilaku manusia agar sungguh-sungguh
manusiawi.
Semoga kecerdasan spiritual dan semangat melayani itu kembali merekah di hati para pemimpin.
|
|
Categories
|
|